Pura Besakih, merupakan Pura yang terbesar di Bali. Terletak di kabupaten Karangasem. Dari Pura ini tampak keindahan panorama alam bali, karena Pura ini terletak di kaki Gunung Agung yang merupakan Gunung yang tertinggi di Bali.
Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa di Pura ini, hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali). Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya.
Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa setelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.
Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang. Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya.
Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji). Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke tempat pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama beberapa waktu Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung.
Pada suatu hari yang dipandang baik (Dewasa Ayu) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.
Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam kendi (payuk) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten / sesajen) selengkapnya diperciki tirta Pangentas (air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama BASUKI. Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktu-waktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa bencana sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari lontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian sampai hari ini bernama Besakih.
Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya, sampai saat ini setiap kali umat Hindu akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor sampai kepada pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaan-perusahaan, terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan. Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan keberhasilan secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki.
Selanjutnya memperhatikan isi lontar Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai saat ini tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam hal pengaturan desa adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita yang pindah dari gunung Raung di Jawa Timur yang mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya dalam bidang pertanian dan peternakan.
Daftar Pura yang terdapat dalam kompleks Pura Besakih adalah ;
1. Pura Pesimpangan
2. Pura Dalem Puri
3. Pura Manik Mas
4. Pura Bangun Sakti
5. Pura Ulun Kulkul
6. Pura Merajan Selonding
7. Pura Goa
8. Pura Banua
9. Pura Merajan Kanginan
10. Pura Hyang Haluh (Jenggala)
11. Pura Basukihan
12. Pura Penataran Agung
13. Pura Batu Madeg
14. Pura Kiduling Kreteg
15. Pura Gelap
16. Pura Pengubengan
17. Pura Batu Tirtha
18. Pura Batu Peninjoan
19. Komplek Pedarman
Ad.1.1 Pura Persimpangan
Ad 1.6 PURA MERAJAN SELONDING
(toede bona)
Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa di Pura ini, hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali). Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya.
Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa setelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.
Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang. Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya.
Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji). Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke tempat pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama beberapa waktu Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung.
Pada suatu hari yang dipandang baik (Dewasa Ayu) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.
Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam kendi (payuk) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten / sesajen) selengkapnya diperciki tirta Pangentas (air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama BASUKI. Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktu-waktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa bencana sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari lontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian sampai hari ini bernama Besakih.
Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya, sampai saat ini setiap kali umat Hindu akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor sampai kepada pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaan-perusahaan, terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan. Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan keberhasilan secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki.
Selanjutnya memperhatikan isi lontar Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai saat ini tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam hal pengaturan desa adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita yang pindah dari gunung Raung di Jawa Timur yang mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya dalam bidang pertanian dan peternakan.
Daftar Pura yang terdapat dalam kompleks Pura Besakih adalah ;
1. Pura Pesimpangan
2. Pura Dalem Puri
3. Pura Manik Mas
4. Pura Bangun Sakti
5. Pura Ulun Kulkul
6. Pura Merajan Selonding
7. Pura Goa
8. Pura Banua
9. Pura Merajan Kanginan
10. Pura Hyang Haluh (Jenggala)
11. Pura Basukihan
12. Pura Penataran Agung
13. Pura Batu Madeg
14. Pura Kiduling Kreteg
15. Pura Gelap
16. Pura Pengubengan
17. Pura Batu Tirtha
18. Pura Batu Peninjoan
19. Komplek Pedarman
Ad.1.1 Pura Persimpangan
| ||||||||||
PURA PERSIMPANGAN | ||||||||||
Dari Pura Dalem Puri ke timur dan membelok lagi ke selatan yaitu di sebelah timur jalan raya, di tempat yang agak terpencil, terletak Pura Pesimpangan. Piodalannya pada hari Anggara Keliwon Julungwangi, pura ini merupakan tempat pesimpangan (singgah) sejenak bila kembali melelasti dari Segara Kelotok Klungkung. Pura Pesimpangan berada kurang lebih 2 km di sebelah barat Pura Penataran Agung Besakih. Bangunan suci atau Pelinggih yang utama di Pura Pesimpangan ini adalah bangunan suci yang disebut Gedong Limas Catu. Di samping itu ada satu bangunan yang disebut pepelik untuk menempatkan sesajen sebagai sarana persembahan umat. Ada juga bangunan yang disebut bebaturan dan balai yang disebut piyasan tempat menempatkan sesajen persembahan yang lebih besar.Di samping itu, ada juga beberapa peninggalan batu yang sulit dinyatakan bentuknya karena sudah rusak. Batu itu mungkin bentuk-bentuk sarana pemujaan pada zaman megalitikum atau peninggalan sarana pemujaan saat Sekte Siwa Pasupata yang lebih eksis sebelum muncul dan semakin kuatnya Sekte Siwa Sidanta. Meskipun sekte Siwa Pasupata tidak eksis lagi tetapi para penganut Siwa Sidanta tidak menghilangkan sarana peninggalan Siwa Pasupata, justru tetap dibuatkan tempat seperti yang kita jumpai di beberapa bebaturan di berbagai kompleks Pura Besakih. Meskipun sarana pemujaan Sekte atau Sampradaya Siwa Pasupata tidak menjadi unsur utama dalam sistem pemujaan Siwa Sidanta, tetapi hal itu tetap dihormati tidak dimusnahkan atau tidak diperlakukan semena-mena saja. Gedong Limas Catu sebagai pelinggih utama di Pura Pesimpangan berfungsi sebagai ''pesimpangan'' atau stana sementara Ida Batara di Besakih. Mengapa ada stana sementara? Dalam kegiatan ritual keagamaan yang bersifat rutin di Pura Besakih ada kegiatan yang disebut Melasti. Upacara Melasti simbol perjalanan para dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa itu dilakukan di Besakih umumnya ke Pura Batu Klotok di pantai selatan Kabupaten Klungkung, ke Tegal Suci dan ke Toya Sah. Ketiga tempat inilah setiap tahun dilakukan upacara Melasti. Saat iring-iringan Melasti itu kembali ke Pura Besakih atau ke Penataran Agung Besakih tidak langsung menuju Pura Besakih. Iring-iringan Melasti itu berhenti untuk beberapa jam lamanya di Pura Pesimpangan ini. Saat berhenti itulah Pelinggih Gedong Limas Catu di Pura Pesimpangan itu disimbolkan sebagai stana sementara Ida Batara di Besakih. Kata ''simpang'' berasal dari bahasa Bali yang artinya singgah. Jadi, Pura Pesimpangan itu sebagai tempat singgah sementara dari Ida Batara simbol Tuhan Yang Maha Esa yang dipuja di Pura Penataran Agung Besakih. Iring-iringan Melasti itu saat kembali ke pelinggih semula umumnya dipersembahkan beberapa sesaji. Besar kecilnya sesaji itu tergantung tingkatan upacaranya. Kalau upacaranya besar maka sesaji untuk kembali berstana di pelinggih asal lebih besar lagi. Untuk mempersiapkan sesaji itu membutuhkan waktu yang lama. Karena itulah iring-iringan Melasti yang kembali itu membutuhkan singgah untuk berhenti sejenak di Pura Pesimpangan. Zaman dahulu belum ada alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih seperti sekarang. Sehingga sulit untuk mengetahui siap dan tidaknya penyambutan iring-iringan Melasti itu di Pura Besakih. Yang menjadi tanda bahwa iring-iringan itu sudah dekat dengan Pura Penataran Agung Besakih adalah suara gong atau gamelan. Konon iring-iringan Melasti itu kalau sudah sampai di Pura Pesimpangan suara gongnya sudah kedengaran dengan jelas dari Penataran Agung. Kalau suara gong sudah terdengar maka segala sesuatu menyangkut ritual sakral penyambutan kedatangan iring-iringan Melasti itu sudah dapat mulai dipersiapkan. Setelah berhenti beberapa jam lamanya di Pura Penataran barulah iring-iringan Melasti itu berangkat lagi menuju Penataran Agung Besakih. Begitu iring-iringan itu sampai di Penataran Agung segala sarana upacara penyambutan sudah siap dilangsungkan. Yang sangat menarik di Pura Pesimpangan ini adalah bentuk Pelinggih Limas Catu ini. Di setiap Merajan Gede yang disebut di Gedong Pertiwi tempat pemujaan leluhur umat Hindu di seluruh Bali umumnya pada Pelinggih Limas Catu yang dibangun di sebelah kanan Gedong Pertiwi. Limas Catu itu pun juga sebagai pesimpangan Batara Gunung Agung di Besakih. Sedangkan sebelah kirinya ada Gedong Limas Mujung sebagai pesimpangan Ida Batara di Gunung Batur. Limas Catu dan Limas Mujung wujud umumnya sama tetapi yang berbeda tutup atapnya di puncak dari bangunan tersebut. Kalau Limas Catu puncaknya berbentuk kerucut semakin ke atas semakin mengecil yang dibuat dari ijuk. Sedangkan Limas Mujung puncak atapnya ditutup dengan topi yang dibuat dari tanah liat beserta hiasannya yang ada ukirannya. Pura Besakih dan Pura Batur adalah Pura Kahyangan Jagat yang tergolong Pura Rwa Bhineda. Fungsi Pura Rwa Bhineda sebagai media memuja Tuhan untuk memohon keseimbangan hidup lahir dan batin. Pura Besakih memohon kebahagiaan hidup rohaniah, sedangkan Pura Batur untuk memohon kesejahteraan hidup lahiriah. Jadinya tujuan pemujaan leluhur di Merajan Gedong Pertiwi adalah untuk memuja memohon kepada leluhur agar ikut serta memperkuat pemujaan umat pada Tuhan untuk membangun kehidupan yang sejahtera lahir batin. Karena itulah ada Pelinggih Pesimpangan Besakih dan Batur dalam wujud Limas Catu dan Limas Mujung. Memperhatikan konsep pemujaan pada Ida Batara di Besakih dapat dibuat dalam wujud besar, megah dan luas. Pemujaan seperti itu kedudukannya sebagai pemujaan jagat masyarakat umat Hindu umumnya tetapi untuk memuja Ida Batara di Besakih dalam keluarga yang lebih kecil dapat dilakukan dengan cara yang amat sederhana. Di Merajan Gede di sebelah kanan Gedong Pertiwi umumnya ada Pelinggih Limas Catu namanya. Pelinggih inilah sebagai Pelinggih Pesimpangan Ida Batara di Besakih sebagai Tuhan dalam manifestasi sebagai Batara Siwa. Sarana pemujaan Tuhan yang ada di mana-mana itu dapat dilakukan dengan berbagai bentuk seperti dinyatakan dalam petikan Kekawin Dharma Sunia di atas. |
Ad 1.2 PURA DALEM PURI
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||
PURA DALEM PURI | |||||||||||||||||||||||||||||||||||
Pura ini terletak jauh di selatan Pura Penataran Agung. Di pura ini distanakan Bhatari Durga. Dahulu pura ini disebut Pura Dalem Kedewatan. Umat Hindu seusai mengadakan Upakara Pitra Yadnya, yaitu ngaben dan Memukur atau Ngeroras biasanya ke pura ini untuk mendak dan Nuntun Sang Pitara untuk distanakan di Sanggah atau Pemerajan masing-masing. Di sebelah Pura Dalem Puri terdapat suatu tanah lapang yang agak luas yang disebut Tegal Penangsaran, ditunggui sebuah Pelinggih Tugu kecil di sebelah timur. Piodalan di pura ini pada hari Buda Keliwon Ugu, sedang setiap tahun pada sasih Kepitu penanggal 1, 3 atau 5 diselenggarakan upakara Yadnya Ngusaba Kepitu. Di dalam pura inilah sejarahnya Sri Jayakasunu menerima pewarah-warah atau sabda dari bhatari Durga tentang Upacara Eka Dasa Rudra, Tawur Kesanga, Galungan, Kuningan dan lain – lainnya, yaitu setelah Sri Mayadenawa dihancurkan karena tindakannya menghalang-halangi masyarakat melakukan ibadah agamanya ke Pura Besakih. Ad 1.3 PURA MANIK MAS
Ad.1.4 PURA BANGUN SAKTI
|
| ||||||||||||||||||||
PURA ULUN KULKUL | ||||||||||||||||||||
PURA Ulun Kulkul dalam Pangider-ider Pura Catur Dala yang berada di wilayah barat dari Pura Penataran Agung Besakih. Mengapa pura ini disebut Pura Ulun Kulkul, karena di Pura ini terdapat hulunya Kulkul di seluruh Bali. Di pura ini umat mohon taksu kalau membuat kulkul atau kentongan sebagai alat komunikasi tradisional. (Mestinya dalam alam modern ini, kita bisa mohon taksu untuk ponsel kita, agar kondisinya tetap prima dan tidak mudah terganggu). Fungsi utama dari Pura Ulun Kulkul ini adalah sebagai media pemujaan Tuhan Yang Mahaesa dalam manifestasinya sebagai Dewa Mahadewa. Pelinggih utama sebagai pemujaan Bathara Mahadewa adalah di Pelinggih Gedong Sari (7). Pelinggih ini berbentuk segi empat beratap ijuk agak meruncing keras. Pelinggih ini letaknya di arah tenggara dari areal Pura Ulun Kulkul dan diapit oleh Palinggih Pepelik (5 & 6) sebagai tempat mengaturkan upakara saat ada upacara besar atau kecil. Dua Pelinggih Pepelik ini sebagai tempat mengaturkan dua macam upakara. Dalam Sarasamuscaya ada disebutkan persembahan itu ada dua jenis yaitu Ista dan Purta. Ista adalah upakara sebagai media permohonan untuk mengembangkan niat-niat spiritual untuk membangun kemajuan jiwa. Sedangkan Purta simbol permohonan untuk memajukan kesejahteraan hidup duniawi. Karena itu di Pura Ulun Kulkul diadakan setiap Tilem Sasih Ketiga di upacara Pengurip Bumi. Bumi ini ke bawah memiliki tujuh lapisan yang disebut Sapta Patala. Kalau masing-masing lapisan ini berfungsi dengan sebaik-baiknya maka kehidupan di permukaan bumi ini akan berlangsung dengan baik. Di semua lapisan-lapisan bumi ini ada kemahakuasaan Tuhan sehingga lapisan bumi ini dapat berdinamika sesuai dengan hukum Rta. Kalau lapisan bumi ini dapat berfungsi sesuai dengan hukum Rta maka sumber-sumber alam akan berfungsi sebagai sumber kehidupan bagi makhluk hidup di permukaan bumi ini. Karena itu Pura Ulun Kulkul sebagai media untuk memohon agar tanah seperti sawah, ladang maupun hutan dapat menjadi tempat tumbuhnya tanam-tanaman dengan suburnya.Sementara kulkul besar hulu dari kulkul di Bali diletakkan di Pelinggih Bale Agung (2) bertiang delapan. Di Bali kalau ada umat atau desa membuat kulkul, pada saat melaspas kulkul-nya umat nunas tirtha di Pura Ulun Kulkul ini agar kulkul-nya mataksu ditaati oleh umat. Memang sebagian besar kompleks Pura Besakih ini sebagai hulunya berbagai pemujaan umat Hindu yang ada di seluruh Bali. Oleh karena itu sudah sangat tepatlah Pura Besakih berkedudukan sebagai Huluning Bali Rajya. Artinya kepalanya Pulau Bali. Sedangkan pusatnya adalah Pura Pusering Tasik.Fungsi kulkul sesungguhnya sebagai sarana untuk memohon adanya suasana yang rukun, aman dan damai. Karena salah satu tujuan hidup bersama adalah mendapatkan rasa aman dan sejahtera. Dalam Manawa Dharmasastra 1.89 disebut Raksanam dan Dhanam. Raksanam artinya mohon keamanan dan Dhanam artinya memohon kesejahteraan ekonomi. Dua kebutuhan rakyat dalam kehidupan bersama ini menjadi tanggung jawab para pemimpin.Karena itu Raja sebaga Ksatria didampingi oleh Bhagwanta atau pendeta istana menekankan pendirian Pura Besakih termasuk Pura Ulun Kulkul ini. Kalau ada anggota masyarakat yang diduga berbuat salah seperti mencuri atau perbuatan yang melanggar hukum lainnya, maka di Pura Ulun Kulkul inilah diselenggarakan upacara ''Penyumpahan''. Hal ini untuk membuat umat menjadi takut berbuat melanggar hukum. Penyumpahan ini sebagai bukti bahwa Pura Ulun Kulkul sebagai media untuk membangun rasa aman atau Raksanam.Penyumpahan ini bertujuan untuk menanamkan pada lubuk hati umat bahwa kalau mereka melanggar hukum Tuhan pasti tahu. Inilah cara menanamkan cara pengawasan oleh diri sendiri agar umat menjaga prilakunya. Dengan demikian Raja akan lebih mudah membangun rasa aman dalam kerajaannya. Pura Ulun Kulkul juga berfungsi sebagai Pura untuk memohon keselamatan ''Sarwa Mule''. Yaitu barang-barang berharga seperti emas, perak, dan batu-batu permata yang diyakini memiliki tuah spiritual. Karena benda-benda ini bentuknya kecil sehingga sangat mudah hilang, apa lagi zaman dahulu tidak ada peti besi (bran-kaas, safety deposit box) seperti sekarang untuk menyimpan benda-benda berharga itu. Dengan memuja Tuhan sebagai Bhatara Mahadewa umat yakin akan keamanan barang-barang mereka yang berharga itu. Demikian juga umat yakin kalau memiliki barang-barang berharga mereka mohonkan Tirtha di Pura Ulun Kulkul sebagai stana Dewanya ''Sarwa Mule''. Hal itu diyakini akan mendapatkan perlindungan dari Bhatara Mahadewa. Demikian juga para pencuri akan takut mencuri barang-barang yang sudah dimohonkan perlindungan di Pura Ulun Kulkul.Kalau mereka berani mencuri mereka akan segera ketahuan atau akan mendapatkan ''pastu'' dari Bhatara Mahadewa. Cara pengamanan ini bersifat Niskala. Pada zaman modern sekarang ini keyakinan orang pada hal-hal Niskala itu agak menipis, karena itu pengamanan Niskala itu hendaknya disertai dengan pengamanan Sekala. Di samping itu menurut ajaran Hindu dalam hidup ini memang tindakan manusia harus selalu diupayakan seimbang antara tindakan Sekala dan Niskala.Pura Ulun Kulkul sebagai media untuk menanamkan nilai-nilai keseimbangan itu yang diawali dari melakukan upaya Niskala untuk memperoleh rasa aman sebagai salah satu unsur yang mutlak untuk mendapatkan hidup yang harmonis. |
Ad 1.6 PURA MERAJAN SELONDING
| ||||||||||||||||
PURA MERAJAN SELONDING | ||||||||||||||||
Pura Merajan Slonding OM Svastyastu, Daivadyantam tadiheta. Pitrayantamna tad bhavet. Pitradyantam tvihamanah. Ksipram nasyati sanvayah. (Manawa Dharmasastra, III.205). Maksudnya: Melakukan pemujaan leluhur (upacara Sradha) hendaknya dilakukan mendahului pemujaan Dewa manifestasi Tuhan. Hendaknya pemujaan leluhur itu jangan berakhir dengan pemujaan leluhur saja. Kalau pemujaan leluhur berhenti pada pemujaan leluhur tidak dilanjutkan dengan pemujaan Dewa, keluarga itu akan cepat hancur bersama keturunannya. PURA Merajan Slonding tergolong salah satu dari kompleks Pura Besakih yang memiliki kedudukan yang cukup penting. Pura ini terletak di sebelah utara Pura Ulun Kulkul atau masyarakat menyebutnya di sebelah barat Pura Ulun Kulkul. Pura ini tergolong Pura Soring Ambal-ambal. Pura Merajan Slonding adalah bagian dari Merajannya Raja Kesari Warma Dewa. Meskipun seorang raja yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas di dalam rumah tempat tinggalnya yang disebut istana atau puri selalu ada juga tempat pemujaan leluhur sang raja sebagai hulu dari pekarangan purinya. Seorang raja sebagai kesatria memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang amat berat. Dalam Manawa Dharmasastra I.89 dinyatakan kewajiban raja sebagai kesatria adalah mengupayakan rasa aman (Raksanam) dan kesejahteraan (Danam) untuk rakyatnya. Karena itu sebagai kesatria diwajiban untuk setiap hari mengupayakan melakukan pemujaan kepada leluhur dan kepada Tuhan, mempelajari Weda, melakukan upacara yadnya dan mengusahakan pengekangan hawa nafsu (wisayeswaprasaktatih). Karena demikian beratnya tugas-tugas seorang raja akan Merajan tersendiri bagi seorang raja tentunya amat dibutuhkan untuk melakukan kotemplasi spiritual untuk menguatkan diri bagi seorang raja. Di areal Pura Merajan Slonding inilah tempat Merajan Raja Kesari Warma Dewa. Mengapa pura ini disebut Merajan Slonding. Karena di pura ini sebagai tempat menyimpan suatu alat musik tradisional yang disebut Slonding. Slonding ini adalah sejenis gamelan Bali yang digunakan saat ada upacara keagamaan yang penting di pura ini. Gamelan Slonding ini disimpan di sebuah Pelinggih Gedong Penyimpenan bertiang enam beratap ijuk. Di Gedong inilah disimpan Gamelan Slonding, lontar, semua pratima dari semua pura yang tergolong Soring Ambal-ambal. Di Gedong ini juga disimpan prasasti Bradah. Sedangkan berbagai busana sakral dengan perlengkapan pura di Soring Ambal-ambal disimpan di Bale Pengangge. Di samping itu ada juga Pelinggih Gedong Saraswati bertiang empat beratap ijuk. Di Pura Merajan Slonding ini disebutkan sebagai Linggih Ida Ratu Bagus Slonding. Ada juga Balai Piyasan sebagai tempat mengaturkan sesajen kalau ada upacara besar. Yang cukup menarik perhatian kita adalah mengapa pratima dan berbagai perlengkapan sakral dari Pura Soring Ambal-ambal disimpan di Pura Merajan Slonding. Dari segi praktisnya sepertinya agak janggal. Karena cukup merepotkan. Mengapa tidak cukup disimpan di masing-masing pelinggih dari Pura Soring Ambal-ambal tersebut. Pura Soring Ambal-ambal ini adalah pura sebagai tempat memuja Tuhan yang memberikan jiwa alam bawah. Disatukannya pratima dan berbagai sarana sakral tersebut sebagai suatu simbol bahwa di alam bawah tersebut meskipun Tuhan diberikan berbagai sebutan yang berbeda-beda namun sumbernya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Berstana Ida Batara Ratu Mas Malilit di Pura Manik Mas, Ida Batara Ananta Bhoga di Pura Bangun Sakti, Ida Batara Basukian di Pura Basukian, Ida Batara Naga Raja atau Naga Tiga di Pura Goa Raja, dstnya. Sebutan Tuhan sebagai jiwa alam itu hanya untuk mudah membeda-bedakan fungsi dari sumber alam yang dijiwai oleh Tuhan Yang Maha Esa tersebut. Karena semua sumber alam tersebut tidak mungkin dapat berfungsi sebagaimana mestinya tanpa ada kekuatan Tuhan yang memberikan makna. Ditempatkannya dalam satu tempat semua pratima dan simbol-simbol sakral tersebut di Pura Merajan Slonding nampaknya bukan semata untuk lebih mudah mengamankannya. Tetapi ada makna lain untuk memberikan motivasi pada sang raja agar dalam membangun kemakmuran rakyatnya dengan memberikan perhatian pada unsur-unsur alam yang disimbolkan oleh semua pura di Soring Ambal-ambal. Setiap ada upacara di masing-masing Pura Soring Ambal-ambal pratima dan simbol-simbol sakral itu pasti diambil melalui prosesi ritual tertentu. Dari Pura Merajan Slonding. Hal ini akan mengingatkan raja dan rakyat apa makna dari masing-masing pemujaan di setiap pura di Soring Ambal-ambal tersebut. Demikian juga saat mengembalikan tersebut sebagai suatu proses untuk mengingatkan raja dan rakyat secara berulang-ulang apa makna dari pemujaan tersebut. Dengan cara berulang-ulang itu seyogianya pemaknaan pemujaan itu lebih dapat diwujudkan dengan lebih nyata dalam kehidupan sehari-hari, baik oleh sang raja maupun dari rakyat sendiri. Demikian juga adanya Gedong Saraswati sebagai suatu sarana untuk mengingatkan raja dan rakyatnya agar dalam mengelola kehidupan bersama dalam wadah negara kerajaan senantiasa menggunakan ilmu pengetahuan suci yang berasal dari ciptaan Tuhan. Weda tersebut juga ibu atau Weda Mata. Karena dari Weda-lah lahirnya dua macam ilmu yaitu Para Widya dan Apara Widya. Para Widya adalah ilmu pengetahuan rohani dan Apara Widya adalah ilmu pengetahuan duniawi. Dua ilmu atau kalau diterapkan secara seimbang dan terpadu akan dapat membangun kehidupan yang seimbang antara kehidupan rohani dan kehidupan duniawi. Seimbangnya kehidupan rohani dan duniawi itulah yang akan membawa masyarakat bahagia lahir batin. Ad.1.7 PURA GOA |
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
PURA GUA | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ke utara dari Pura Manik Mas di sebelah timur jalan raya terletak Pura Gua di mana Hyang Naga Basuki diistanakan. Di sebelah timur Pura ini terdapat sebuah sungai dan pada tebingnya ada sebuah gua besar, tetapi sekarang gua tersebut sudah tertimbun runtuhan tanah longsor. Dalam ceritera tentang perjalanan Dang Hyang Sidimantra ke Besakih, diceriterakan bahwa di gua inilah beliau setiap hari-hari tertentu mempersembahkan haturan kepada Hyang Naga Basuki berupa empahan (susu), madu dan telur. Juga di tempat ini Dang Hyang Manik Angkeran memotong ekor Naga Basuki, sehingga Dang Hyang Manik Angkeran dipanggang sampai meninggal, tetapi kemudian dihidupkan lagi setelah Dang Hyang Sidimantra (Ayah dan Dang Hyang Manik Angkeran) dapat memasang kembali ekor Naga Basuki yang terpotong itu. Menurut ceritera rakyat, dahulu kala gua itu tembus sampai ke Gua Lawah Klungkung, sehingga pernah terjadi pada waktu ada sabungan ayam di Gua Lawah, salah seekor ayam sabungan itu lari masuk ke Gua Lawah kemudian dikejar terus oleh pemiliknya dan akhirnya ia keluar di gua Besakih. Pada permukaan gua sekarang ini sudah diperbaiki sehingga memungkinkan orang duduk untuk sembahyang atau semadi. Piodalan di pura Gua pada hari Buda Wage Kelawu atau Buda Cemeng Kelawu. Ad.1.8 PURA BUANA
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar